Jumat, 20 Agustus 2010

Alquran Obat Kehidupan

Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian (QS. Al-Isra' [17]: 82).

Ketika seseorang tidak meyakini konsep qadha' dan qadar dengan benar, jiwanya akan sangat rapuh. Hanya ditimpa oleh musibah sedikit saja, sudah bisa menyebabkan dirinya tergoncang, stres, bahkan putus asa. Akibatnya, aneka penyakit pun dengan mudah dapat menghinggapinya. Menjadi semakin runyam ketika sistem yang diterapkan justru memicu terjadiya keadaan tersebut. Realitas inilah yang dialami oleh masyarakat kapitalisme. Ideologi yang memaksa setiap orang harus bertarung dalam pasar bebas ini terbukti telah menjadi biang penyebab terjadinya banyak orang terjangkit penyakit jiwa. Tak hanya itu, banyak sekali perilaku akibat paham kebebasan (freedom), seperti seks bebas telah menyebabkan ter-sebarnya HIV/AIDS.

Realitas memprihatinkan itu tidak akan terjadi ketika seseorang meyakini aqidah Islam. Syukur terhadap nikmat dan sabar menerima musibah, menjadikan jiwa pelakunya menjadi kokoh. Terlebih ketika syariah diterapkan dalam kehidupan; keadilan dan kesejahteraan dapat diwujudkan secara merata. Oleh karena itu, 'obat' atas berbagai penyakit akibat kapitalisme adalah Islam. Dengan tegas, ayat di atas pun menyebut Alquran sebagai syifâ' (obat).


Obat dan Rahmat bagi Kaum Mukmin

Allah Swt berfirman: Wanunazzilu min al-Qur'ân mâ huwa syifâu[n] wa rahmat[un] li al-Mu'minîn (dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman). Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah SWT-lah yang menurunkan Alquran. Ditegaskan pula, Alquran yang diturunkan itu merupakan syifâ' dan rahmah bagi kaum Mukmin.

Dijelaskan al-Alusi, makna huruf min dalam ayat ini bukan li al-tab'îdh (untuk menyatakan sebagian). Sebab, pemaknaan demikian dapat mengantarkan pada pemahaman bahwa ada sebagian ayat Alquran yang tidak menjadi syifâ'. Padahal faktanya tidak demikian. Oleh karena itu, makna huruf min itu yang lebih tepat adalah li bayân al-jins (untuk menjelaskan jenis atau spesifikasi). Sehingga seluruh Alquran adalah syifâ' bagi kaum Mukmin. Makna inilah yang dipilih oleh sebagian besar mufassir, seperti al-Zamakhsyari, Fakhruddin al-Razi, al-Alusi, al-Baidhawi, Ibnu al-Jauziyyah, al-Syaukani dan lain-lain.

Secara bahasa, kata al-syifâ' berarti al-dawâ' (obat). Yakni mâ yubri' min al-saqam (segala sesuatu yang membebaskan dari sakit). Demikian penjelasan Ibnu Manzhur dalam Lisân al-'Arab.

Al-Qurthubi dan al-Syaukani menukil adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu mengenai kandungan Alquran sebagai obat dalam ayat ini. Pertama, syifâ' li al-qulûb (obat bagi hati); atau disebut al-Razi sebagai al-amrâdh al-rûhâniyyah (penyakit-penyakit rohani). Menurutnya, penyakit jenis ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni: al-i'tiqâdât al-bâthilah (keyakinan-keyakinan yang batil) dan al-akhlâq al-madzmûmah (sifat-sifat tercela). Dalam soal i'tiqâd, Alquran berisi petunjuk tentang madzhab yang benar sekaligus menjelaskan kesalahan madzhab-madzhab yang batil. Sedangkan dalam soal al-akhlâq, Alquran pun berisi rincian dan informasi tentang akhlak yang tercela sekaligus menuntun manusia kepada akhlak yang utama lagi sempurna.

Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa Alquran menghilangkan segala penyakit dalam hati, seperti keraguan, kemunafikan, kesyirikan, penyelewengan dan penyimpangan. Alquran mengobati semua penyakit itu. Tidak jauh berbeda, al-Nasafi juga menegaskan bahwa Alqur-an merupakan obat bagi amrâdh al-qulûb (penyakit-penyakit hati).

Kedua, obat bagi penyakit lahir atau jasmaniah, yakni dengan ruqyah, ta'awwudz, dan semacamnya. Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa riwayat. Di antaranya adalah hadits al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Said al-Khudri yang menceritakan bahwa ada seorang sahabat dalam sebuah rombongan sariyah yang bersedia meruqyah pemuka suatu kaum dengan imbalan 30 ekor kambing. Setelah dibacakan alhamdulillah (al-Fatihah) sebanyak tujuh puluh kali, pemuka kaum itu pun sembuh. Mereka pun menyerahkan sejumlah kambing yang disyaratkan di awal. Ketika hal itu dikonfirmasikan kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda: 'Tahu dari mana kalian bahwa al-Fatihah itu memang ruqyah?' Kemudian beliau berkata: 'Kalian telah benar. Bagilah (upahnya) dan berilah untukku bagian bersama kalian'.

Menanggapi dua pendapat itu, al-Syaukani mengatakan bahwa tidak ada penghalang untuk membawa ayat ini kepada dua makna tersebut. Fakhruddin al-Razi juga mengatakan bahwa tabarruk (mencari berkah) dengan membaca Alquran dapat menolak banyak penyakit.

Sedangkan sebagai rahmah di sini mengandung cakupan makna yang amat luas. Menurut al-Syaukani, Alquran menjadi rahmah bagi kaum Mukmin karena di dalamnya terdapat ilmu-ilmu yang bermanfaat, baik untuk memperbaiki agama maupun dunia. Selain itu, membaca dan mentadabburinya dapat mendatangkan pahala besar bagi pelakunya. Dan itu menjadi sebab datangnya rahmat, ampunan, dan ridha-Nya. Abdurrahman al-Sa'di juga ber-kata: “Menjadi rahmah karena di dalam Alquran terkandung sebab-sebab dan sarana untuk meraihnya. Kapan saja seseorang melakukan sebab-sebab itu, maka dia akan menang dengan meraih rahmat dan kebahagiaan yang abadi, serta pahala, cepat atau-pun lambat.”

Kerugian bagi Orang Dzalim

Harus dicatat bahwa obat dan rahmat itu hanya berlaku bagi orang-orang Mukmin. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang mengingkari dan menolaknya? Dalam frasa selanjutnya pun ditegaskan: Walâ yazîd al-zhâli-mîna illâ khasâr[an] (dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian).

Al-Nasafi menafsirkan al-zhâlimîn sebagai al-kâfirîn dan khasâr[an] sebagai dhalâl[an]. Sedangkan menurut Ibnu Jarir al-Thabari khasâr[an] bermakna ihlâk[an] (kebinasaan). Menurutnya, hal itu disebabkan karena setiap kali ayat Alquran turun yang berisi perintah atau larangan terhadap sesuatu, mereka mengingkarinya; tidak mengerjakan perintah-Nya dan tidak meninggalkan larangan-Nya. Maka itu menambah kerugian bagi mereka yang sebelumnya sudah merugi; menambah kekufuran dengan kekufuran. Dijelaskan al-Zamakhsyari, realitas ini seperti yang diberitakan dalam firman Allah SWT: Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir (QS al-Taubah [9]: 125).

Secara faktual Alquran memang merupakan obat. Akan tetapi, jika diingkari, tidak didengarkan, dan tidak diterapkan dalam kehidupan, sudah tentu kegunaan Alquran sebagai obat tidak berfungsi. Allah SWT berfirman: Katakanlah: "Alquran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Alquran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh" (QS Fushilat [41]: 44).

Demikianlah. Jika kita ingin hidup sehat dan terbebas dari aneka ragam penyakit yang kini merajalela, maka kita harus mencampakkan sekularisme-kapitalisme yang menjadi sumbernya. Sebagai gantinya, Islam yang diterapkan secara kaffah dalam kehidupan.
Wa-Allâhu a'lam bi al-shawâb.

Sumber: BKIM IPB

0 comments:

blogger templates | Make Money Online