Tentang hakekat diri dan kedudukan kita, maka bacalah firman-Nya (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Kita adalah hamba yang harus menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apa saja. Adapun mengenai keagungan Rabb (Allah) yang telah menciptakan kita, maka bacalah firman-Nya (yang artinya), “Segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam.” (QS. al-Fatihah: 1). Allah lah sosok paling berjasa kepada kita dan yang paling layak untuk mendapatkan cinta.
Tatkala seorang hamba telah kehilangan dua buah ilmu ini -ilmu tentang hakekat dirinya dan ilmu tentang keagungan hak Rabbnya- maka pupuslah harapan untuk menggapai kebahagiaan yang sebenarnya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Seorang hamba akan sampai pada tujuannya -dengan meniti jalan yang lurus- adalah dengan merealisasikan kedua macam ma’rifat ini baik dalam bentuk ilmu maupun keadaan/sikap hidup, sedangkan keterputusannya -untuk bisa menggapai tujuan- adalah karena dia kehilangan keduanya. Inilah kandungan makna ucapan mereka -sebagian orang bijak-, ‘Barangsiapa yang mengenal -hakekat- dirinya niscaya akan mengenali -keagungan- Rabbnya’…” (al-Fawa’id, hal. 133).
Nah, sadarkah dirimu bahwa Allah menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya? Sadarkah dirimu bahwa hidup di dunia ini tiada artinya jika tidak digunakan untuk menghamba kepada-Nya? Sadarkah dirimu, betapa besar anugerah dan nikmat yang Allah curahkan kepada kita -yang semestinya kita syukuri dengan hati, lisan dan segenap anggota badan kita- di sepanjang perjalanan hidup yang kita lalui, di setiap jengkal tanah yang kita pijak dan setiap bangunan rumah yang kita huni. Aduhai, betapa seringnya kita tak sadar, terlena oleh suasana, melupakan hakekat diri kita dan melalaikan hak Rabb kita atas diri kita. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kalian bersyukur maka pasti akan Aku tambahkan nikmat kepada kalian, akan tetapi jika kalian kufur/ingkar maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih.” (QS. Ibrahim: 7). Allah ta’ala berfirman pula (yang artinya), “Betapa sedikit hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS. Saba’: 13).
Saudaraku, untuk apakah kau pergunakan waktu yang diberikan Allah kepadamu? Waktu yang begitu berharga ini kerapkali kita sia-siakan. Jangankan berpikir untuk melipatgandakan pahala amalan, bahkan sekedar untuk beramal yang ringan pun kita sering berat dan menganggapnya sebagai beban atau bahkan siksaan! Padahal Rabb kita jalla fi ‘ulaah telah memberikan janji luar biasa bagi hamba yang patuh kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia akan mendapatkan keberuntungan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123).
Ketidaksadaran itulah yang membuahkan ketidaksabaran. Tidak sabar dalam menjalani ketaatan. Tidak sabar dalam menjauhi kemaksiatan. Dan tidak sabar dalam menghadapi perihnya musibah yang menimpa hati maupun badan. Oleh sebab itu tidak ada yang beruntung kecuali orang-orang yang sabar. Bukankah Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya semua orang merugi, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3).
Bagi banyak orang ketaatan terkadang dirasakan memberatkan dan tidak menyenangkan. Yaitu tatkala seorang hamba tidak lagi menyadari bahwa kesulitan yang dihadapinya di saat berjuang menegakkan ketaatan adalah ujian untuk membuktikan sejauh mana kualitas iman pada dirinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Alif lam mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan, ‘Kami beriman’ lantas mereka pun tidak diuji?” (QS. al-Ankabut: 1-2). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga begitu saja sementara Allah belum mengetahui -menunjukkan- siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh di antara kalian, dan juga siapakah orang-orang yang bersabar.” (QS. Ali Imran: 142).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat dalam surat Ali Imran di atas, “Artinya, janganlah kalian mengira dan jangan pernah terbetik dalam benak kalian bahwa kalian akan masuk surga begitu saja tanpa menghadapi kesulitan dan menanggung berbagai hal yang tidak menyenangkan tatkala menapaki jalan Allah dan berjalan mencari keridhaan-Nya. Sesungguhnya surga itu adalah cita-cita tertinggi dan tujuan paling agung yang membuat orang-orang saling berlomba -dalam kebaikan-. Semakin besar cita-cita maka semakin besar pula sarana untuk meraihnya begitu pula upaya yang mengantarkan ke sana. Tidak mungkin sampai pada kenyamanan kecuali dengan meninggalkan sikap santai-santai. Tidak akan digapai kenikmatan -yang hakiki/surga- kecuali dengan meninggalkan (tidak memuja) kenikmatan -yang semu/dunia-. Hanya saja perkara-perkara yang tidak menyenangkan di dunia yang dialami seorang hamba di jalan Allah -tatkala nafsunya telah dia latih dan gembleng untuk menghadapinya serta dia sangat memahami akibat baik yang akan diperoleh sesudahnya- maka niscaya itu semua akan berubah menjadi karunia yang menggembirakan bagi orang-orang yang memiliki bashirah, mereka tidak peduli dengan itu semua. Itulah keutamaan dari Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 150).
Sementara itu, kesabaran menerima cobaan dan kesungguhan dalam menjalani ketaatan hanya akan lahir dari keyakinan yang kokoh terhunjam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah, barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya.” (QS. at-Taghabun: 11). Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Dia adalah seorang hamba yang tertimpa musibah lalu dia mengetahui/meyakini bahwasanya musibah itu datang dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah.” (HR. Said bin Manshur, lihat al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 208).
Tatkala seorang hamba mampu menyempurnakan keyakinan di dalam jiwanya maka niscaya musibah yang menimpa akan berubah menjadi nikmat, dan cobaan yang dialami akan berubah menjadi anugerah (lihat al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 208). Ibnul Qayyim rahimahullah menukil penjelasan para ulama bahwa ciri orang yang telah memiliki keyakinan yang kokoh terhunjam itu adalah; [1] dia senantiasa menengok/ingat kepada Allah pada setiap kejadian yang dialaminya, [2] dia selalu kembali kepada-Nya pada setiap urusan, [3] dia senantiasa memohon pertolongan kepada-Nya dalam setiap keadaan, dan [4] dia senantiasa mengharapkan wajah-Nya dalam setiap gerakan maupun diam (lihat al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 208).
Itu artinya apabila seorang hamba ingin keluar dari ketidaksadaran ini, hendaknya dia betul-betul memahami kedua buah ilmu tersebut. Pertama; ilmu tentang hakekat dirinya beserta segala kekurangan, kelemahan dan keterbatasannya. Dan yang kedua; ilmu tentang hak dan keagungan Rabbnya beserta kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Kedua ilmu itulah yang akan mengokohkan akar keyakinan di dalam hatinya dan menegakkan pohon kesabaran di dalam hidupnya.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
0 comments:
Posting Komentar