Ayat al-Quran yang sering dijadikan rujukan atas kewajiban ibadah puasa adalah QS:2:183. Surat ini menegaskan bahwa tujuan diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang beriman adalah agar mereka menjadi kaum yang bertakwa. Takwa adalah melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur (petunjuk) dari Allah karena mengharapkan pahala dari-Nya, dan meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah karena takut akan siksa-Nya.
Secara psikologis, pembentukan konsepsi takwa melalui ibadah puasa secara lebih operasional dapat diartikan sebagai pembentukan watak atau karakter yang memiliki kecerdasan ketangguhan (adversity intelligence), kecerdasan emosional (emotional intelligence), dan kecerdasan sosial (social intelligence) yang menjadi ukuran dari kualitas diri seseorang.
Kedua, kecerdasan emosional, yaitu kondisi psikologis seseorang untuk dapat menyadari dirinya (self-awareness) dan mengelola dirinya (self-management) secara produtif. Dengan berpuasa seseorang dilatih batin dan ruhaninya untuk peka dan sensitif terhadap dirinya sendiri dan sekaligus mengelola batinnya sehingga kalbunya memancarkan radar untuk dapat melihat dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mana yang bermanfaat dan yang merusak bagi dirinya. Sebagaimana dikatakan Antoine De Saint-Exupery dalam The Little Prince ” It is with the heart that one sees rightly; what is essential is invisible to the eye.
Ketiga, kecerdasan sosial, yaitu kecerdasan yang terbentuk ketika hendak membangun sebuah relasi yang produktif dan harmonis. Selain dapat membangkitkan solidaritas sosial, hikmah ibadah puasa dapat meningkatkan kualitas relasi dengan sesama, seperti kerabat, tetangga, rekan kerja atau atasan. Relasi ini sangat mungkin berjalan dengan baik jika seseorang mampu mendemonstrasikan sejumlah elemen penting dalam kecerdasan sosial.
Terdapat lima elemen kunci kecerdasan sosial, yaitu: pertama, situational awareness (kesadaran situasional). Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka akan kebutuhan serta hak orang lain. Contoh, orang yang merokok di ruang ber-AC tanpa merasa bersalah adalah orang yang tidak memiliki kesadaran situasional.
Kedua, presense atau kemampuan membawa diri. Bagaimana etika penampilan, tutur kata, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti akan meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya.
Ketiga, authenticity (autensitas) atau sinyal dari perilaku seseorang yang akan membuat orang lain menilainya sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu menghadirkan ketulusan. Elemen ini amat penting, sebab hanya dengan aspek inilah seseorang dapat membentangkan relasi yang mulia dan bermartabat.
Keempat, clarity (kejelasan). Aspek ini menjelaskan sejauh mana seseorang dibekali kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan idenya secara renyah dan persuasif, sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Sering seseorang memiliki gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara lebih tepat, sehingga atasan atau rekan kerja tidak berhasil diyakinkan.
Kelima, empathy (atau empati). Aspek ini merujuk pada sejauh mana seseorang dapat berempati pada gagasan dan penderitaan orang lain. Sejauh mana kita memiliki keterampilan untuk bisa mendengarkan, memahami pemikiran orang lain, dan melakukan aksi nyata untuk meringankan penderitaan orang lain. Perasaan lapar dan haus dapat ditindaklanjuti dengan semangat kedermawanan melalui zakat, infak, sedekah dan ibadah sosial lainnya.
Oleh karena itu, ibadah puasa yang sedang kita lakukan selama bulan Ramdhan ini hendaknya dapat membentuk tiga kecerdasan, yaitu kecerdasan adversity (ketangguhan), kecerdasan emosional, dan kecerdasan sosial yang menjadi ciri utama kualitas diri seorang mukmin yang bertakwa.
Oleh: Bahrul Hayat, Ph. D.
(Sekretaris Jenderal Kemenag RI)
0 comments:
Posting Komentar