Setelah gagal mendapatkan izin untuk membangun masjid pertama yang dibangun di masa umat Islam hijrah di negaranya, komunitas Muslim Etiopia berencana membangun masjid bersejarah itu di AS. Selain masjid, mereka juga berencana membangun Islamic Center guna mengenang pristiwa hijrah pertama umat Islam dan perlakuan buruk pemerintah Etiopia terhadap komunitas Muslim. Pembangunan masjid hijrah pertama direncanakan berlokasi di Washington DC, atau berjarak 2 mil dari Gedung Putih.
First Hijrah Mosque, demikian nama Masjid yang merujuk pada pengikut Nabi Muhammad SAW yang melakukan hijrah pada tahun 615 menuju Madinah setelah menghadapi tekanan dan himpitan kaum Quraisy di Makkah. Umat Islam yang hijrah kemudian dilindungi seorang raja beragama Nasrani Ashama Ibn Abjar yang juga dikenal sebagai al-Najahsi yang menolak permintaan Quraisy mengembalikan pengungsi ke Makkah.
Karena alasan itulah, komunitas Muslim Etiopia perlu untuk membangun masjid. Sayangnya, niat itu tidak tercapai lantaran ditolak pemerintah Etiopia. Meski ditolak, komunitas Muslim Etiopia tidak patah arang. Mimpi mereka untuk membangun sebuah masjid tetap dilakukan dengan AS sebagai penggantinya. Menurut mereka, pembangunan masjid di AS seolah napak tilas perjuangan umat Islam pertama kali ketika harus meninggalkan rumah dan kerabat mereka untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik.
Masjid itu juga dinilai komunitas Muslim Etiopia sebagai wadah yang representatif untuk menampung 20 ribu Muslim di Washington. "Kami terlebih dahulu akan menyewa sebelum nantinya kami beli," ungkap Sheikh Naguib Mohamed, pemimpin komunitas Muslim Etiopia di Washington seperti dikutip dari Alarabiya, Senin (30/8).
Sebelumnya, Mohammed sempat melakukan aksi protes terhadap perlakuan pemerintah Etiopia terhadap komunitas Muslim di Axum dan seluruh Etiopia. Menurut dia, pihaknya mendapatkan tekanan yang begitu hebat. Salah satu tekanan itu adalah tidak diperbolehkannya umat Islam memiliki lahan kuburan. Larangan itu menyebabkan komunitas Muslim di negara itu harus menguburkan kerabat dan saudaranya dengan jarak 15 km dari setiap kota di Etiopia.
Sementara itu, Moftah Saeid, muazin masjid menilai meski mendapatkan kebebasan beribadah di AS. Dirinya merasa rindu beribadah di Axum. "Sangatlah ironis, bahwa AS memberikan hak kepada kami untuk shalat sedangkan tanah air kami tidak memberikan hak itu," imbuhnya.
Belal al-Habashi, 13, yang juga merupakan anggota komunitas Muslim Etiopia di Washington mengaku dirinya belajar mendalami Alquran selama setahun di Virginia Islamic Center. "Mengetahui kondisi Muslim di sana, saya tidak mungkin bisa mempelajari Alquran," ungkapnya.
Masjid yang tengah dibangun ini terdiri dari dua lantai, lantai pertama untuk pria dan lantai kedua untuk perempuan. Selama bulan Ramadhan, masjid menyediakan makanan khas Etiopia sehingga komunitas Muslim bisa menikmati buka dan sahur bersama sekaligus memberikan pengajaran tentang Islam dan Alquran. Masjid juga berkordinasi dengan organisasi Muslim lain seperti Badr Islamic Association dan telah memiliki jejaring sosial Paltal.
Karena alasan itulah, komunitas Muslim Etiopia perlu untuk membangun masjid. Sayangnya, niat itu tidak tercapai lantaran ditolak pemerintah Etiopia. Meski ditolak, komunitas Muslim Etiopia tidak patah arang. Mimpi mereka untuk membangun sebuah masjid tetap dilakukan dengan AS sebagai penggantinya. Menurut mereka, pembangunan masjid di AS seolah napak tilas perjuangan umat Islam pertama kali ketika harus meninggalkan rumah dan kerabat mereka untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik.
Masjid itu juga dinilai komunitas Muslim Etiopia sebagai wadah yang representatif untuk menampung 20 ribu Muslim di Washington. "Kami terlebih dahulu akan menyewa sebelum nantinya kami beli," ungkap Sheikh Naguib Mohamed, pemimpin komunitas Muslim Etiopia di Washington seperti dikutip dari Alarabiya, Senin (30/8).
Sebelumnya, Mohammed sempat melakukan aksi protes terhadap perlakuan pemerintah Etiopia terhadap komunitas Muslim di Axum dan seluruh Etiopia. Menurut dia, pihaknya mendapatkan tekanan yang begitu hebat. Salah satu tekanan itu adalah tidak diperbolehkannya umat Islam memiliki lahan kuburan. Larangan itu menyebabkan komunitas Muslim di negara itu harus menguburkan kerabat dan saudaranya dengan jarak 15 km dari setiap kota di Etiopia.
Sementara itu, Moftah Saeid, muazin masjid menilai meski mendapatkan kebebasan beribadah di AS. Dirinya merasa rindu beribadah di Axum. "Sangatlah ironis, bahwa AS memberikan hak kepada kami untuk shalat sedangkan tanah air kami tidak memberikan hak itu," imbuhnya.
Belal al-Habashi, 13, yang juga merupakan anggota komunitas Muslim Etiopia di Washington mengaku dirinya belajar mendalami Alquran selama setahun di Virginia Islamic Center. "Mengetahui kondisi Muslim di sana, saya tidak mungkin bisa mempelajari Alquran," ungkapnya.
Masjid yang tengah dibangun ini terdiri dari dua lantai, lantai pertama untuk pria dan lantai kedua untuk perempuan. Selama bulan Ramadhan, masjid menyediakan makanan khas Etiopia sehingga komunitas Muslim bisa menikmati buka dan sahur bersama sekaligus memberikan pengajaran tentang Islam dan Alquran. Masjid juga berkordinasi dengan organisasi Muslim lain seperti Badr Islamic Association dan telah memiliki jejaring sosial Paltal.
Sumber: Republika
0 comments:
Posting Komentar